Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS Melemah, Apa Penyebabnya?
Setelah data inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) AS untuk Oktober 2024 dirilis, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah pada akhir perdagangan Kamis.
Rupiah turun sebesar 56 poin, atau 0,35 persen, pada awal perdagangan Kamis menjadi 15.840 per dolar AS dari posisi sebelumnya di 15.784 per dolar AS.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan bahwa tren penguatan dolar AS terus berlanjut karena pasar terus mengantisipasi kemungkinan kebijakan perang dagang atau kenaikan tarif perdagangan pemerintahan Trump, seperti dikutip dari ANTARA di Jakarta, Kamis (14/11/2024).
Sesuai ekspektasi pasar, data inflasi utama bulanan AS menunjukkan kenaikan sebesar 0,2 persen per bulan.
Inflasi, di sisi lain, meningkat tipis secara tahunan menjadi 2,6 persen per tahun (yoy), sejalan dengan perkiraan pasar.
Investor lebih mengantisipasi penurunan suku bunga kebijakan pada Desember 2024, menurut laporan IHK ini.
Dolar AS Kembali Menguat Pasca Pilpres
Setelah sejumlah pejabat Federal Reserve menyatakan dukungan mereka terhadap pendekatan yang lebih hati-hati dalam menentukan arah suku bunga Federal Reserve Funds Rate (FFR), indeks dolar AS kembali naik.
Meskipun Amerika Serikat telah mencapai kemajuan dalam penurunan inflasi, Federal Reserve diperkirakan akan tetap menggunakan metode penurunan suku bunga kebijakan yang bertahap.
Dampaknya adalah ekspektasi FFR yang lebih tinggi hingga tahun 2025, yang mendorong permintaan dolar AS. Indeks Dolar AS naik sebesar 0,43% ke 106,48, dan yield obligasi AS 10 tahun meningkat dua basis poin menjadi 4,45%.
Josua Pardede memperkirakan kurs rupiah hari ini akan berada di kisaran Rp15.725 hingga Rp15.850 per dolar AS.
Sentimen Asia yang Meningkat
Sementara itu, upaya China untuk menambah utang sebesar 10 triliun yuan di Asia sebagian besar tidak diterima.
Karena masalah ini, investor menunggu lebih banyak langkah fiskal yang akan mendorong belanja konsumen dan mendorong pasar properti.
Sebuah laporan Bloomberg melaporkan bahwa negara tersebut sedang mempertimbangkan untuk memangkas pajak pembelian rumah sebagai cara untuk mendukung sektor properti, tetapi ini tidak akan membantu saham lokal.
Dia juga menyatakan bahwa analis mengatakan Beijing mungkin mencari informasi tambahan tentang kebijakan Trump terhadap negara tersebut, mengingat ia telah berjanji untuk meningkatkan tarif perdagangan atas impor China.
Ibrahim menambahkan, “Kini diperkirakan China akan menguraikan lebih banyak stimulus fiskal selama dua pertemuan politik tingkat tinggi pada bulan Desember.”
Post Comment